Saturday, May 21, 2011


Pura Pasek Wanagiri Selemadeg Tabanan Bali
Sumber : Tim Pengurus Pura, Dharmatula 1 Mei 1994
Editor : Made Sumerta Yasa

I. 






PENDAHULUAN

1. Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan naskah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang pokok-pokok susunan pelinggih-pelinggih yang melingkupi pura, dudonan/pailen upacara piodalan yang dilaksanakan secara periodik tradisional berikut kepengurusan pura sejak dahulu hingga sekarang.
Tujuan yang diharapkan adalah memperdalam pengenalan dan pemahaman mengenai situasi dan keadaan pura dalam rangka meningkatkan keimanan/kepercayaan kepada Ida Sanghyang Widi Wasa dan roh suci leluhur keluarga besar Pasek Wanagiri, melalui peningkatan mutu kebaktian umatnya berdasarkan ajaran agama Hindu yang benar.
2. Ruang Lingkup dan Sistimatika
Ruang lingkup tulisan ini terbatas mengenai hal ikhwal Pura Pasek Wanagiri dari sudut pandang dan pemikiran yang sederhana sehingga tidak sulit untuk dimengerti oleh kalangan umat yang luas. Keterbatasan mengenai referensi, nara sumber yang dapat dipercaya serta kemampuan teknis menulis penyusun naskah ini terlebih dahulu harus diakui. Namun betapapun keterbatasannya, diharapkan tidak akan mengurangi arti makna perlunya penulisan ini, khususnya bagi para penyiwi pura yang bersangkutan.
3. Dasar-dasar
a. Wujud nyata/fisik pura beserta pelinggih-pelinggih dan dudonan upacara piodalan yang dilaksanakan secara periodik tradisional.
b. Pokok-pokok kesimpulan Dharmatula tanggal 1 Mei 1994 yang dihadiri sejumlah besar wakil-wakil Dadia Penyiwi Pura.
II. SUSUNAN PELINGGIH-PELINGGIH PURA
1. Status dan Areal Lahan “Druwen” Pura
Pada dasarnya Pura Pasek Wanagiri berstatus pura kawitan yang disungsung oleh segenap warga keluarga besar keturunan Pasek Wanagiri, baik yang merupakan pekandel maupun yang penyiwi (berdomisili di luar wilayah Desa Wanagiri).
Namun di lain pihak juga berfungsi sebagai Kahyangan Tiga Desa karena ada Pelinggih Bale Agung, Puseh dan Dalem meskipun keadaannya tidak sesuai benar dengan keadaan Kahyangan Tiga Desa pada umumnya.
Keseluruhan Pura berada di atas lahan berstatus “Duwen Pura” seluas ± 6.005 Ha, sebagian berupa hutan dan sebagian lahan perkebunan yang digarap oleh beberapa orang penggarap.
2. Bagian-bagian/Pengelompokan Pura
Pura yang terdiri dari tidak kurang dari 28 buah bangunan pelinggih dan bebaturan batu dapat dibagi dalam beberapa komplek pura, yaitu :
a. Pura Kanginan (Siwa) dengan pelinggih :
1. Siwa (Ida Ratu Gede Raja Gunung)
2. Bale Manik
3. Kawitan/Duwur Kangin
4. Bagus Wayan
5. Bagus Made
6. Beberapa Baturan
b. Pura Kauhan, dengan pelinggih-pelinggih :
1. Ida Ratu Gede Raja Utama
2. Ratu Pasek
3. Geria/Bujangga
4. Ratu Dalem
5. Simpangan Majapahit
6. Sedahan Degdeg
7. Ratu Gede Duwur
8. Simpangan Pauman
9. Naga Besukih
10. Bale Teruna
11. Bale Agung
12. Ratu Nyoman
Disamping itu ada juga bangunan :
1. Bale Pegat
2. Bale Gong
3. Pewaregan
4. Gudang Pesimpenan
c. Pura Kadia/Panti Ibu
1. Kahyangan Ibu
2. Taksu
3. Piasan
4. Jero Nyoman
Disamping itu ada juga bangunan :
1. Wantilan
2. Pewaregan
Diarah utara dan barat laut Pura Kadia/Ibu tersebar Bebaturan :
1. Baturan Pujut Aya
2. Baturan Tamblingan
3. Baturan Gunung Majapahit
            4. Baturan Baturangka
5. Baturan Bejunggul
6. Baturan Sangket
7. Baturan Dukuh
d. Pura Pajahan dengan Bebaturannya
e. Pura Pauman dengan Bebaturannya
3. Denah Pura dan Bentuk Bangunan Pelinggih-pelinggih
Pandangan cepat terhadap keseluruhan pelinggih pura akan mengesankan kepada kita adanya tataletak yang bersifat “padma bhuwana” dan “nyatur desa”. Letak Pura Kanginan (Siwa) sebagai pusat dikelilingi oleh Pura Pajahan yang letaknya di sebelah timur, Pura Pauman yang letaknya di sebelah selatan, Pura Kauhan yang letaknya di sebelah barat, Pura Kadia dengan jajaran bebaturan di sebelah utara dan barat laut yang letaknya di sebelah utara.
Tata letak yang demikian itu mengingatkan kita kepada tataletak Kahyangan Jagat Pura Besakih sebagai pusatnya.
Bentuk bangunan pelinggih, sebagian berupa bangunan Gedong bertiang kayu beratap ijuk dan bebaturan-bebaturan dari tumpukan batu yang direkat tanah, yang melambangkan gunung, sebagai ciri khas bangunan pemujaan roh-roh suci pada zaman pra Hindu di Bali. Tidak ada bangunan Padmasana dan Meru.
4. Fungsi-fungsi Pura/Pelinggih tertentu
Berdasarkan penuturan para pengelingsir Pura, diketahui adanya fungsi-fungsi Pura sebagai berikut :
a. Pura Kanginan (Siwa) adalah stana/linggih Ida Ratu Gede Raja Gunung, berfungsi sebagai tempat memohon Pemuput dan Pengentas/Pemurwa.
b. Pura Kauhan adalah stana/linggih Ida Ratu Gede Raja Utama, berfungsi sebagai tempat memohon Pemepek.
c. Pura Kadia/Ibu adalah stana/linggih Hyang Ibu, berfungsi sebagai tempat memohon Penyambutan dan Nakti (mohon agar punya anak)
d. Pura Pauman adalah stana/linggih Ratu Nyoman Arak Api, berfungsi sebagai tempat memohon keselamatan jika terjadi keadaan genting (tidak aman) dan berjangkit wabah dan lain-lain mapetaka besar.
e. Pura Pajahan adalah stana/linggih Ratu Gede Pajahan, berfungsi sebagai tempat memohon kesidian atau keberhasilan unen-unen.
Secara khusus :
a. Baturan Tamblingan adalah stana/linggih Ratu Tamblingan berfungsi sebagai tempat memohon kekuatan atau keselamatan untuk menghadapi musuh.
b. Pelinggih Bujangga (di Pura Kauhan) adalah stana/linggih Ida Pedanda Putus, berfungsi sebagai tempat memohon penugrahan.
c. Pesimpangan Majapahit (di Pura Kauhan) adalah stana/linggih Ayu Mas Majapahit, berfungsi sebagai tempat memohon petunjuk membuat banten atau mejejahitan.
III. DUDONAN DAN JALANNYA UPACARA PIODALAN
1. Uger-uger / Ketentuan hari Piodalan
Hari piodalan/pujawali di Pura ditetapkan berdasarkan uger-uger Sasih, pada “Purnamaning Sasih Kapat” (mupu kembang) hari piodalan di Pura Kanginan dan pada “Purnamaning Sasih Kedasa” piodalan di Pura Kauhan. Dengan demikian sesungguhnya upacara piodalan dilangsungkan setahun sekali, namun karena uger-uger untuk 2 pura, maka upacara piodalan berlangsung setiap 6 bulan sekali, dengan catatan bahwa upacara dan upacaranya tidak berbeda. Lamanya pelaksanaan piodalan antara 5 sampai 11 hari.
2. Dudonan/Pailen Upacara Piodalan
a. Tahap awal/Utpati :
1). Medatengan
2) .Mesaudan
3) .Nyapsap/Nyepuh/Makelemigi
4) .Mendak Betara
5) .Nyiramang (ke Beji/Segara)
6) .Ngelinggihang
7) .Menek Base
b. Tahap Pemeliharaan/Stiti
1) .Menek Banten
2) .Negtegang/Menbenang
3) .Ngeseh Banten
4) .Negtegang/Menbenang
5) .Betara Mepica
6) .Betara Makenak-kenakan
c. Tahap Akhir/Pralina
1) .Numbak Dewa
2) .Muspa Umum (Tri Sandya, Panca Sembah)
3) .Kincang-kincung
4) .Numbak Desa
5) .Ngabuang
6) .Ngelebar/Ngeluarang
3. Jalannya Upacara Piodalan
a. Upacara Medatengan dilakukan pada hari Tilem (Sasih Kapat/Sasish Kedasa) bertempat di Bale Teruna dan Bale Agung Pura Kauhan. Masing-masing Kerama Pekandel membawa Canang Ketipat dan pepeson berupa Kalbase, Kelapa, dll. Kerama memotong Babi Hitam untuk bahan upakara “Datengan” yang jumlahnya tertentu digelar di Bale Agung. Pimpinan Upacara, Pemangku, Prajuru Catur dilanjutkan dengan persem-bahyangan umat kerama pura, dengan maksud mohon keselamatan kepada para Patih dan Iringan Betara dalam pelaksanaan karya selanjutnya.
b. Pada hari piodalan (bulan Purnama) diadakan Upacara Mesaudan di Pelinggih Utama, yang bermaksud sebagai piuning kehadapan Ida Betara, bahwa upacara piodalan dimulai.
c. Selanjutnya dilakukan upacara Makelemigi/Nyapsap/Nyepuh Kahyangan yang dirangkaikan dengan upacara Metanginin/Nuhur Betara untuk dihaturi / diiring masucian ke Beji atau Segara.
d. Kedatangan dari Beji/Segara, di Jabaan Pura Ida Betara dipapag dengan upakara Segehan Agung/Tetabuhan dan Tari Pendet Pemendak. Setelah berputar 3 kali di Jeroan Puri Kauhan, Ida Betara melinggih di Bale Pemiyasan/Bale Teruna. Pemangku dan Penyerati ngaturang Panyembrama berupa Reraceman dan Soda.
e. Kemudian beberapa saat dilangsungkan upacara Ngelinggihang Betara, diikuti ngaturang Canang Turunan (Menek Base). Pemangku, Prajuru Catur masedekang tegak linggih di Bale Agung. (upakara tegak linggih ini dibiarkan tetap digelar di Bale Agung sampai saat aturan pengeseh beberapa hari berikutnya).
f. Pemangku, Prajuru atur dan para Manggalaning Kerama termasuk Penyerati ngilenang “Menek Banten” Piodalan, mulai dari Pura Kanginan (Siwa), Pura Kadia, Pura Kauhan (semua plinggih). Aturan ditujukan kepada Mulu Kadia berlangsung sehari dua hari sampai Ida Betara menerimanya (dahulu dengan perantaraan Dasaran). Sekarang karena sudah jarang ada “Anak Rawuh”, setelah 2 kali menbenang/mepek, dianggap sudah selesai.
g. Kerama Pura ngayah mempersiapkan upakara “pengeseh aturan” antara lain berupa guling, gayah dan selanggi (bahan selanggi adalah daging guling terdahulu yang disurud di upakara angsagan). Semua aturan di pelinggih-pelinggih diganti dengan yang baru. Pemangku, Prajuru Catur dan Penyerati masedekang aturan satu per satu disemua pelinggih, dilanjutkan nganteb Selanggi di Bale Agung.
h. Ada aturan yang disebut “Aturan Mulu Kangin”, terletak disebuah angsagan tinggi, ditujukan kehadapan “Betara Kawitan/Dalem/Siwa/Surya yang disertai pula dengan upakara mepek/menbenang. Yang memutuskan/berwenang menerima aturan ini adalah Betara Aji Gede, yang diikuti Ida Betara mapica/ mapisusuk. Sesudah itu satu persatu Ida Betara keantukang (upacara “Numbak Dewa”). Dalam pelaksanaan-nya, seorang Teruna memegang sebuah Gelagar berisi Tetabuhan, sambil menari melagukan Kidung Sakral berjalan menuju Bale Teruna, dimana Pemangku memegang “Tapaan” menjawab dengan Kidung juga. Setelah dekat tetabuan dituangkan di pojok Bale Teruna.
i. Segenap umat penyungsung ngaturang Bakti bersama, mulai di Pura Kanginan, Pura Kadia dan terakhir di Pura Kauhan, diikuti dengan acara nunas tirta wangsuhpada/kekuluh dan mebasma bertempat di Jabaan Pura Kauhan.
j. Berikutnya pelaksanaan upacara “Kincang-kincung”, dimana seorang petugas khusus (warisan fungsional) berpakaian Pujut Aya (pakaian perang), memikul tegen-tegenan yang digantungi kepala Kijang (Itik), nyelet madik berjalan gagah mengelilingi Bale Agung 3 kali.
Kincang-kincung ini bermakna menuntun kembali para iringan Batara maluaran.
k. Prajuru (Pasek) memukul kentongan di Bale Agung untuk memanggil semua Kerama Pura berkumpul. Empat (4) orang teruna membawa gelagar dari setiap sudut/pojok menari sambil mekidung, berhadapan dengan Prajuru Catur, masing-masing memegang “tapaan” tetabuhan, membalas dengan kidung sakral. Metabuh dimulai dari pojok Timur Laut oleh Pasek, di sudut Barat Laut oleh Kabayan, di Pojok Barat Daya oleh Penyarikan, dan di Pojok Tenggara oleh Kesinoman. Upakara ini disebut “Numbak Desa”.
l. Dilanjutkan dengan upacara “Ngabuang”. Deha Teruna masing-masing menjungjung selangi dari Bale Teuna berlari berkeliling 3 kali di seputar Pura Kauhan, berakhir dengan sorak sorai sambil melemparkan selangi ke uadara. Kemudian hal yang sama dilakukan pula oleh Kerama Pura Lanang, bertempat dipelataran Bale Agung di bawah pimpinan Pasek. Masing-masing mengambil selangi di Bale Agung, menari menghadap Utara, tiba-tiba berbalik, bersorak sambil melemparkan selangi ke udara dan terus berlari memegangi Bale Agung.
Konon ini bermakna sebagai tanda suka cita umat menerima Pican Ida Betara dan sebagai suatu tekad untuk tetap melestarikan adat/tradisi yang diwarisi (berebutan memegang Bale Agung).
m. Upacara Ngelebar dilaksanakan oleh Pemangku, Prajuru Catur, serta semua petugas upacara yang lain lanang istri, bersama-sama ngaturang Daksina Pengelebar di Jaba / dekat Pemedalan Pura Kauhan. Maknanya mohon maaf jika ada kesalahan dalam pelaksanaan upacara piodalan dan mohon Ida Betara kembali ke tempat asalnya.
n. Setelah 3 (tiga) hari Upacara Ngelebar, dilakukan upacara “Melayagin”, dilanjutkan dengan penyimpanan alat-alat upacara (busana, tedung, pengawin, lelontek, dll)
o. Setelah 42 (empat puluh dua) hari Ngelebar, diadakan upacara “Nunjel Penjor”, semua sampah bekas upacara, gantung-gantungan, penjor dikumpulkan dan semuanya diupacarai, setelah diuparai lalu dibakar sampai habis.
p. Selesailah rangkaian upacara piodalan secara keseluruhan, yang akan berulang kembali 6 (enam) bulan kemudian.
IV. KEPENGURUSAN PURA
1. Latar Belakang Kepengurusan Masa Lampau
a. Kepengurusan Pura masa lampau berpijak tradisional ritual, dalam bentuk dan susunan yang disebut “Perajuru Catur”, yang terdiri atas unsur-unsur : Pasek, Kebayan, Penyarikan dan Kesinoman. Unsur Pasek sebagai Top Leader yang berfungsi “Macekin”, unsur Kebayan sebagai Perlengkapan yang berfungsi sebgai “Juru Tampah”, Unsur Penyarikan sebagai Sekretaris yang berfungsi sebagai “Juru Pinget” dan Unsur Kesinoman sebagai Humas yang berfungsi sebagai “Juru Arah”.
Konon selain Perejuru Catur masih ada penambahan 4 (empat) unsur fungsional khusus, sehingga dikenal adanya “Pengurus Kutus”
Personalia Perejuru Catur ini berdasarkan keturunan, bakat yang bersifat fungsional, jadi bukan yang satu lebih tinggi dari yang lain, melainkan saling mengisi sesuai dengan bakat/kemampuan masing-masing dalam hubungan kesatuan yang selaras dan harmonis.
b. Kepengurusan tradisional fungsional itu telah berjalan dari generasi ke generasi dalam kurun waktu beberapa dasa warsa dan berhasil menegakkan kepasekan Tohjiwa Wanagiri dengan segala kebesaran dan kekurangannya. Kita yang ada sekarang patut “asung prama suksma” atas darma bakti para pendahulu kita.
c. Sesudah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sesuai dengan tuntunan zaman saat itu terbentuk Kepengurusan Pura dengan susunan Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Seksi-seksi. Eksistensi Prajuru Catur/Pengurus Kutus tetap ada, khususnya menonjol di bidang ritual / upakara sampai sekarang ini.
d. Kepengurusan Pura yang sekarang ini lahir sekitar bulan Mei 1993, dengan motivasi untuk mengupayakan keadaan yang lebih baik dari pada sebelumnya dengan memperhatikan situasi dan kondisi yang berlaku.
2. Program kerja yang telah/sedang dilaksanakan, adalah :
a. Bidang Administrasi
1. Pendataan Penyiwi Pura yang berdomisili di luar Desa Wanagiri.
2. Membuat catatan tentang urut-urutan pailen upacara piodalan dan alat/bahan-bahan yang diperlukan.
3. Membuat buku Inventaris Pura
4. Membuat pertanggung-jawaban keuangan tertulis.
5. Pemasangan Papan Pura.
6. Memberikan jadwal khusus kebaktian para penyiwi.
b. Bidang Spritual Keagamaan
1. Meningkatkan keimanan umat kepada Ida Sahyang Widhi Wasa dengan cara mengadakan acara Dharmawecana dalam upacara piodalan (Fungsionaris Parisada/Pengurus Pura)
2. Mengatur pelaksanaan sembahyang bersama umat berdasarkan ketentuan Parisada. (Tri Sandhya, Panca Sembah).
3. Mengadakan persembahyangan hari Purnama dan Tilem.
c. Bidang Keuangan
1. Memungut Urunan Wajib (Pekandel, Penyiwi).
2.
d.
Belum selesai…………..

3 comments:

  1. Sangat bagus........!
    Saya warga Tohjiwa (wanagiri) di Gadungan Timur ingin tahu lebih luas tentang keradaan Pura secara keseluruhan. Tolong lanjutkan artikel ini ...! Terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih pak tapi maaf baru tyang sempat balas, tulisan ini merupakan jeritan hati diri tyang yang begitu akan ausnya keluhuran dan keturunan pasek wanagiri yang ada dimana-mana yang tyang belum pahami sampai sekarang, untuk itu tyang berharap bapak mau menulis mengisi blog ini, suksema.
      email tyang madesumertayasa@yahoo.co.id atau madesumertayasa@gmail.com

      Delete
  2. Harrah's Cherokee Casino Resort - MapYRO
    Get 양산 출장안마 directions, reviews 전주 출장안마 and information for Harrah's Cherokee 거제 출장마사지 Casino Resort in Cherokee, NC. Hotel Casino. 화성 출장안마 The property is 충청북도 출장샵 located

    ReplyDelete